Monday, May 17, 2010

Pengantar
Sejak awal tahun 1990-an fenomena degradasi bio-geofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria yang selanjutnya dapat mengganggu lingkungan biosfer wilayah pantai dan pesisir yang memiliki peran produksi yang besar.
Sekitar 75% dari luas wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.

Kondisi Mangrove di Indonesia
Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotic dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002).
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.).

Manfaat Ekosistem Mangrove
Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis).
Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dll.) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).
Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya :

·    Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang
·    Pengendali intrusi air laut
·    Habitat berbagai jenis fauna
·    Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang
·    Pembangun lahan melalui proses sedimentasi
·    Pengontrol penyakit malaria
·    Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
·    Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain.
 
Mangrove mempunyai nilai produksi bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9 – 398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 – 25,8 ton/ha/th), dan riap volume (20 tcal/ha/th. 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun). Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir.
Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis.
Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahwa dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk., 2002).

Hutan Mangrove Untuk Tambak Udang
Dewasa ini mangrove menarik perhatian berbagai pihak, baik di kalangan pemerintah, ilmuwan, media masa, maupun kalangan pengusaha. Hal tersebut tidak terlepas antara lain dari pengaruh tingginya harga udang di pasaran ekspor.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan kelautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, aukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, dll., hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan, alat dan teknik penangkapan ikan. dll.
Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan modal dasar sebagai basis untuk usaha budidaya air payau. Saat ini potensi lahan pertambakan diperkirakan mencapai 866.550 ha. Bahkan dengan kemajuan teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka tersebut, karena lahan intertidal dan marjinal yang berpasir sekalipun telah terbukti dapat dimanfaatkan untuk usaha pertambakan dengan hasil yang cukup baik.
Sampai dengan tahun 1997, luas tambak yang ada sekitar 421.510 ha atau tingkat pemanfaatan potensial lahannya baru sekitar 39,78%. Berdasarkan perkiraan Ditjen Perikanan (1998) potensi hutan mangrove yang akan dibangun tambak sekitar 1.211.309 ha. Kenaikan rata-rata pertambahan luas tambak di Indonesia sekitar 3,67% per tahun.
Berdasarkan data Ditjen Perikanan (1998), luas tambak sekitar 344.759 ha atau perkiraan luas tambak tahun 2000 sebesar 360.000 ha. Namun demikian luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak diperkirakan lebih dari itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak tahun 1992 sebesar 15.000 ha, tahun 1998 sebesar 40.000 ha dan tahun 1999 sebesar 85.000 ha (Santoso, 2002).
Dampak krisis ekonomi yang dialami negara Indonesia dan menurunnya nilai tukar rupiah telah mendorong laju konversi hutan mangrove, terutama untuk budidaya perikanan (udang). Beberapa lokasi yang diduga cukup menonjol terjadi konversi adalah: DI.Aceh, Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,  Kalimantan Tengah dan Kalimantan timur.
 
Aspek Lingkungan
Dalam mengejar target ekonomi terkadang sisi lingkungan terabaikan. Pada tataran masyarakat maupun birokrat yang berhubungan dengan bidang kesehatan khususnya, masih berkembang pandangan yang keliru tentang mangrove. Mangrove dianggap sebagai tempat yang kotor untuk tempat bersarang dan berkembangbiaknya nyamuk malaria, lalat, dan berbagai jenis serangga lainnya. Hal tersebut telah mendorong terjadinya pembabatan mangrove yang berlebihan untuk mengatasi timbulnya wabah penyakit tersebut. Akan tetapi sebaliknya, apabila kondisi ekosistem mangrove masih terjaga dengan baik maka akan mampu menjaga keseimbangan habitat malaria dalam kondisi seimbang yang tidak memungkinkan malaria berubah menjadi wabah penyakit bagi manusia.
Persepsi lain, bahwa mangrove tidak dipandang sebagai sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila dibandingkan dengan usaha budidaya perikanan. Hal tersebut diperburuk dengan hasil-hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa mangrove secara alami tidak menguntungkan apabila dibandingkan dengan mengkonversi untuk tujuan pengembangan budidaya perikanan. Fakta menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah dimana mangrove dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengedalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS, 2002).

Penutup
Hutan mangrove merupakan tempat pemijahan dan asuhan (nursery ground) berbagai macam biota, termasuk ikan dan udang yang hidup secara alami. Di sisi lain ada peluang upaya peningkatan produksi melalui budidaya tambak udang, yang secara sesaat akan lebih cepat mendatangkan keuntungan. Tak dapat dipungkiri bahwa tuntutan peningkatan ekonomi melalui usaha produksi budidaya tambak udang yang tidak berwawasan lingkungan, akan membawa konsekwensi mendorong laju penurunan luas hutan mangrove yang berfungsi menjaga kestabilan lingkungan. Lantas, apa yang harus dilakukan dalam menghadapi dilema tersebut?
Dalam kesempatan Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang dilaksanakan pada tanggal 6-7 Agustus 2002 yang diselenggarakan atas kerjasama Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan dan Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, dihasilkan beberapa rumusan yang terkait dengan upaya pengelolaan ekosistem mangrove, antara lain :
  • Departemen Kelautan dan Perikanan dan Departemen Kehutanan secara bersama-sama segera mendorong dan memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah pesisir pada tiap Kabupaten sebagai dasar perencanaan pengelolaan pesisir terpadu serta sebagai sarana implementasi pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari.
  • Salah satu upaya mengatasi kerusakan mangrove adalah dengan cara meningkatkan kualitas lingkungan pesisir melalui rehabilitasi ekosistem mangrove guna mengembalikan kepada fungsinya semula yaitu sebagai tempat pemijahan dan mencari makan dari berbagai jenis ikan, udang, mitigasi bencana alam, pengendalian pencemaran, abrasi dan intrusi air laut serta sebagai kawasan preservasi, konservasi dan pemanfaatan secara lestari.
  • Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologi dari ekosistem mangrove dengan pendekatan ekologis.
Udang dibalik mangrove bukanlah kiasan, akan tetapi kenyataan yang dapat memakmurkan bangsa ini, namun sebaliknya dapat menyengsarakan bilamana tidak dikelola secara berwawasan lingkungan.

Bahan Bacaan :
Integrasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002, Oleh Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan.
Kebijakan Departemen Kehutanan dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove. Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan, 2002.

0 comments:

Post a Comment