Monday, November 16, 2009

Baru-baru ini sebuah diskusi tentang studi Hermeneutika dilaksanakan di Jakarta. Apakah studi yang berasal dari tradisi Kristen sebuah 'musibah' atau 'hikmah' jika diterapkan dalam Islam?

Belum lama ini sebuah buku berjudul The Koran from Vernacular Perspective dikirimkan kepada saya langsung oleh penulisnya. Setelah mengucapkan terima kasih kepadanya, saya sempat bertanya apakah ia berkenan menyatakan identitas dan latar-belakangnya.

“Kalau anda menginginkannya, bisa saja saya kirimkan curriculum vitae (daftar riwayat hidup) saya selengkapnya. Namun untuk apa? Apa relevansinya?” jawabnya.

Maka saya katakan kepadanya bahwa bagi seorang ‘Muslim scholar’ hal itu sangat signifikan dan relevan sekali. Kita dianjurkan untuk bersikap kritis mencermati dan menilai tidak hanya ‘apa’ yang dikatakan, tetapi juga ‘siapa’ yang mengatakannya. Unzur ila ma qîla wa man qâla.

Karena itu adagium populer yang sering kita dengar ini sebenarnya kurang tepat, jika bukan justru mengelirukan: meskipun keluar dari ‘lubang’ ayam, jika itu telur, ambil. Meskipun keluar dari ‘lubang’ penguasa, kalau itu najis, buang! Sebab, andaikata pernyataan ini dijadikan prinsip, maka kekacauan epistemologis menjadi tak terelakkan.

Kelak akan ada cendekiawan Muslim yang berseru: meskipun kata seorang kafir (yang berpotensi merusak dan menyesatkan), kalau itu menarik dan membebaskan, maka ambillah. Meskipun firman Tuhan (Al-Qur’an) atau sabda Nabi (hadis sahih), kalau itu membelenggu dan menjemukan, maka buanglah!

Memang, sejak dulu, salah satu persoalan perennial dan kontroversial yang senantiasa muncul ke permukaan ialah, sejauh mana orang Islam dibolehkan dan memerlukan barang impor – tentu saja ini andaikata disepakati boleh dan perlu.

Barang impor yang dipersoalkan di sini jelas bukan produk teknologi seperti sepeda motor atau laptop, akan tetapi aneka ragam ideologi dan produk pemikiran yang sesungguhnya sarat dengan berbagai pra-andaian terpendam (tacit assumptions) dan kepentingan terselubung (hidden interests).

Kalangan yang kurang peka atau tidak jeli memang cenderung memandang enteng persoalan ini. Atau bahkan menganggapnya bukan persoalan sama sekali. Alasannya, ilmu itu kan netral. Namun apakah benar demikian? Kecuali yang wahyu yang berasal dari Tuhan, boleh dikata semua produk pemikiran manusia pada hakikatnya tidaklah netral dalam arti bebas dari kepentingan para perumusnya dan pra-anggapan yang menyertainya. Hanya mereka yang lugu menganggap ilmu pengetahuan itu bebas nilai.

Selain itu, alasan yang kerap dikemukakan ialah, orang beriman diperintahkan memungut hikmah dari mana pun sumbernya, karena ia merupakan hak miliknya yang hilang (dhaallatu l-mu’min, haytsu wajadaha akhadza biha).

Namun menurut sebagian ulama seperti Ibn Hibban dan al-‘Uqayli, ungkapan yang diriwayatkan oleh Ibrahim al-Makhzumi ini sebenarnya bukanlah hadits sahih (Lihat: Imam Abu l-Faraj Ibn al-Jawzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi l-Ahadits al-Wahiyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H/1983, jilid 1, hlm. 95-96). Konon, ungkapan ini berasal dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nahju l-Balaghah.

Walaupun demikian, terlepas dari status hadits tersebut di atas, seorang mukmin memang perlu bersikap hati-hati dalam upaya mencari hikmah yang ‘tercecer’ di mana-mana. Sebaiknya, tidak asal pungut dan jangan salah pungut. Tapi bukan lantas serta-merta menolak secara a priori. Juga tidak berarti menerima for granted tanpa curiga.

Ambil sebagai contoh hermeneutika yang sekarang ini tengah digandrungi dan nyaris dinobatkan sebagai ‘manhaj tafsir alternatif’, tanpa memahami asal-usul dan seluk-beluknya. Di sini izinkanlah saya mengutip Josef van Ess, profesor emeritus dan pakar sejarah teologi Islam dari Universitas Tuebingen, Jerman:

"We should, however, be aware of the fact that German hermeneutics was not made for Islamic studies as such. It was originally a product of Protestant theology. Schleiermacher applied it to the Bible. Later on, Heidegger and his pupil Gadamer were deeply imbued with German literature and antiquity. When such people say “text” they mean a literary artifact, something aesthetically appealing, normally an ancient text which exists only in one version, say a tragedy by Sophocles, Plato’s dialogues, a poem by Hölderlin. This is not necessarily so in Islamic studies.”

Maksudnya, perlu diketahui bahwa hermeneutika yang berasal dari Jerman itu sebenarnya memang bukan ditujukan untuk kajian keislaman.

Pada asalnya ia merupakan produk teologi Protestan. Dipakai untuk untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan belakangan oleh Heidegger dan Gadamer dalam kajian kesusasteraan Jerman maupun klasik.

Yang mereka maksud dengan istilah ‘teks’ ialah karya tulis buatan manusia, sesuatu yang indah lagi menarik, biasanya sebuah naskah kuno yang hanya terdapat dalam satu versi, seperti kisah tragedi karangan Sophocles, dialog-dialog karya Plato, atau pun puisi yang ditulis Hölderlin. Ini jelas tidak sama dengan konsep teks dalam kajian Islam (Lihat Irene A. Bierman (ed.), Text & Context in Islamic Societies, Reading, UK: Ithaca Press, 2004, hlm.7).

Van Ess benar belaka. Sebagai ‘anak kandung’ tradisi intelektual Barat hasil perkawinannya dengan teologi Kristen, hermeneutika memang tidak sesuai untuk diterapkan dalam studi Islam.

Kita katakan ‘tidak sesuai’, bukan ‘tidak bisa’ atau ‘tidak mungkin’, karena perkara ini lebih menyangkut dampak dan hasil, ketimbang hukumnya. Hermeneutika hanya akan membuahkan kebingungan dan keragu-raguan.

Betapa tidak, sedangkan ia bertolak dari skeptisisme dan relativisme, menghendaki ketidakpastian makna dan penafsiran, merayakan konflik dan kontradiksi. Karena itu, bagi cendekiawan mukmin, hermeneutika lebih tepat kalau dikategorikan sebagai musibah ketimbang hikmah. Wallahu l-muwaffiq ila aqwami t-thariq.

*) Penulis sedang menyelesaikan program doktornya yang kedua di Orientalisches Seminar, Frankfurt

0 comments:

Post a Comment