Saturday, December 5, 2009

Cara termudah bagi seorang akademisi untuk membangun kredibilitas akademiknya adalah dengan menulis buku. Terutama bagi mereka yang sudah menjadi dosen. Apakah saya sedang bercanda? Kalau menulis artikel singkat di koran atau menulis paper ilmiah untuk jurnal saja "tidak sempat", bagaimana mungkin "ada waktu" untuk menulis buku?


Menulis buku bagi seorang dosen sebenarnya sangat mudah. Rata-rata dosen UI, UGM, ITB, dll. menulis buku. Isinya pun sederhana tapi cukup representatif. Waktu kuliah S1 jurusan hukum di Indonesia, saya terkesan dengan buku "Dasar-dasar Ilmu Politik" karya Prof Miriam Budiarjo, guru besar UI yang mantan diplomat di AS. Isinya ringan tapi berbobot dan yang lebih penting lagi semua kandungan buku tersebut adalah kumpulan materi kuliahnya selama setahun di FISIP UI!


Apa yang dilakukannya merupakan ide sederhana tapi cemerlang: menulis buku dari kumpulan materi kuliah yang diajarkan pada mahasiswa. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa semua dosen dapat menulis buku. Paling sedikit, setahun sekali. Asal setiap materi kuliah dipersiapkan secara serius. Tidak sulit, bukan?

Kandungan buku yang berasal dari kumpulan materi kuliah dosen sebenarnya bukan hal baru. Semua dosen di seluruh dunia melakukan hal serupa, termasuk dosen-dosen kita di India, di Mesir, Eropa, Amerika, dll. Saya ungkapkan lagi di sini, karena saya melihat dosen-dosen alumni India belum ada yang melakukannya; mungkin belum tahu atau mungkin lupa. Apapun kemungkinannya tidak ada jeleknya kalau saya ingatkan kembali.


Buku juga dapat berupa kumpulan makalah ilmiah yang pernah kita bawakan di sejumlah seminar, pernah dimuat di jurnal atau kompilasi tulisan artikel pendek yang pernah dimuat di media. Buku sejumlah tokoh akademisi banyak juga yang berasal dari kumpulan tulisan mereka di media. Buku-buku Prof Dr Nurcholis Madjid seperti "Keislaman dan Keindonesiaan", "Islam dan Peradaban", dll. adalah salah satu contoh.


Kenapa kalangan akademisi umumnya begitu getol menulis atau menyusun buku? Jawaban pertama yang keluar adalah "untuk membangun kredibilitas atau reputasi akademis". Ini tidak berarti bahwa kalangan akademisi yang tidak mempunyai karya ilmiah sama sekali sebagai bodoh. Tidak. Ia bisa saja pintar, bahkan mungkin saja lebih pintar dari yang menulis. Tapi, tanpa memiliki karya bagaimana orang lain tahu bahwa anda memiliki kapabilitas/kemampuan akademis yang mumpuni? Bagaimana orang tidak akan meragukan ijazah dan titel Anda yang berderet-deret? Dan pada tataran praksis, bagaimana Anda dapat mencapai kredit poin untuk menjadi profesor apabila tidak memiliki karya tulis?

0 comments:

Post a Comment