Thursday, December 10, 2009

Dua puluh satu tahun telah berlalu usia pernikahanku. Sedikit banyak, aku telah mendapatkan cahaya baru dari kilasan-kilasan cinta. Suatu waktu aku akan keluar bersama seorang wanita, dan dia bukan istriku. Ide tersebut lahir dan disarankan oleh istriku ketika suatu hari ia melintas di hadapanku dan berkata, “Aku tahu bahwa abang sangat mencintainya.” Wanita yang istriku berharap aku dapat keluar bersamanya dan menyediakan waktu yang cukup untuk menemaninya adalah ‘bundaku’. Beliau telah menjalani masa sendiri selama sembilan belas tahun semejak ditinggal pergi oleh ayahku selamanya. Namun pekerjaan-pekerjaan di kantor, kehidupan harianku bersama tiga orang ‘pangeran-pangeran kecilku’ dan tanggungjawab-tangggungjawab lain yang menyebabkan aku sangat jarang sekali menjenguknya. Suatu hari aku menelepon dan mengundang beliau untuk ikut makam malam. Pertanyaan beliau menakjubkanku, “Apakah Asha baik-baik saja?” Maklum, menurutku beliau tidak biasa menanyakan ungkapan-ungkapan seperti itu kepadaku, terutama –mungkin- mengenai waktu aku menghubungi beliau di saat tengah malam.

Aku menjawab, “Ya, Asha baik-baik saja. Dan Asha ingin sekali menghabiskan waktu bersama bunda.” Beliau berkata, “Kita berdua saja?” Kemudian beliau terdiam sejenak, lalu menjawab, “Ibu sungguh sangat menyukainya”.

Pada hari sabtu sore, setelah kembali dari kantor, aku langsung mengendarai ‘Feroza Hijauku’ melintasi jalan menuju rumah kediaman beliau. Aku sedikit segan dan gugup saat tiba di halaman rumah beliau. Namun aku juga membaca kekwatiran di wajah beliau. Beliau sedang menungguku di samping pintu rumah, mengenakan pakaian panjang dengan jilbab biru cantik yang menutupi kepalanya. Aku kembali teringat pakaian itu adalah hadiah terakhir yang dibeli oleh ayahku sebelum beliau wafat. Beliau tersenyum seperti malaikat dan berkata, “Bunda telah katakan kepada semua tetangga bahwa bunda akan keluar bersama anak bunda hari ini. Mereka semua begitu senang mendengarnya. Tetapi mereka tidak shabar menunggu cerita-cerita bunda bersama Asha yang akan bunda ceritakan kepada mereka setelah bunda kembali nanti.”

Kami pun berangkat menuju sebuah restoran Padang yang tidak terlalu megah. Interior khas Minangnya begitu anggun dan suasana di dalamnya sangat indah dan asri. Aku menggandeng beliau dengan erat dan mesra, seolah beliaulah ‘wanita pertama dalam hidupku”. Setelah kami mendapatkan tempat duduk, aku mulai membacakan daftar menu makanan dan minuman yang disediakan. Sebab beliau saat ini tidak lagi mampu untuk membaca kecuali susunan huruf-huruf yang besar saja. Di saat aku sedang membacakan susunan menu, beliau menatapku dan melayangkan selembar senyum menyejukkan. Sesaat kemudian sebaris kalimat terucap, “Bunda adalah orang yang telah membacakan sesuatu untuk Asha ketika Asha masih kecil dulu.” Kemudian aku menjawabnya, “Tiba kini waktu yang tepat. Sesuatu yang menjadi hutang Asha terhadap apa yang bunda telah persembahkan untuk Asha.”

Kami mengobrol panjang lebar sambil menikmati makanan yang tersaji. Masing-masing kami tidak menemukan sesuatu yang asing dari kebiasaan kami saat ‘curhat’. Cerita-cerita masa lalu yang penuh kenangan juga kami selingi dengan cerita dan pengalaman baru. Tanpa terasa kami lupa waktu hingga akhirnya tiba waktu tengan malam. Selang beberapa saat aku segera mengantar beliau pulang.

Ketika kami sampai di rumah, beliau berkata, “Bunda setuju bila kita dapat keluar bersama sekali lagi, tetapi bunda yang akan mentraktir Ahsa. Deal?” Aku mengangguk ramah lalu mencium tangan beliau dan mengucapkan salam, “Salam wa rahmah alaiki, wahai bundaku!”

Setelah melewati beberapa hari, wanita yang telah menjadi ‘hati bagi anak-anaknya’ tersebut meninggal dunia. Kejadian itu berlalu sangat cepat dan aku belum dapat melakukan sesuatu pun untuknya. Setelah kejadian yang menyedihkan itu, aku mendapatkan sebuah ‘lembaran’ dari restoran Padang, tempat kami menikmati makan malam bersama beberapa waktu yang lalu. Termaktub padanya tulisan dengan huruf-huruf besar yang rapi, “bunda telah membayar traktiran bunda lebih awal. bunda tahu bunda akan pergi yang penting, bunda telah membayar untuk jatah dua orang, untuk Asha & istri Asha. Karena sesungguhnya Asha tidak akan mampu mentakdirkan apa makna malam itu berkaitan dengan bunda. Bunda mencintai Asha”

Dalam satu kesempatan aku mulai memahami dan menghargai makna kalimat “Cinta” atau “Aku mencintaimu”. Apalah artinya di saat kita menjadikan arah lain yang akan merasakan cinta kita dan orang yang kita cintai. Tidak ada sesuatu yang lebih berarti daripada cinta dan kasih sayang kedua orang tua dan lebih khusus cinta seorang “bunda”. Aku akan mempersembahkan semesta waktu yang mereka berhak atasnya, dan dialah hak Allah sepenuhnya dan hak mereka. Perkara-perkara ini jangan sampai kuperlambat lagi. (Asha Gazzaz :deruja_chandra@yahoo.co.uk)

Buat Ayat: “Keistiqamahanmu akan memudahkanmu untuk menyempurnakan separuh agamamu. Insya Allah, dialah dermaga satu-satunya tempat kau berlabuh kelak!”

0 comments:

Post a Comment