Tuesday, February 2, 2010


Kualitas Sumberdaya Manusia di Indonesia sudah masuk tingkat yang patut diperhitungkan dengan banyaknya lulusan sarjana intelektual dari berbagai bidang masing-masing. Tuntutan kualitas memang menjadi tolak ukur utama seiring banyaknya kuantitas sumberdaya manusia yang dihasilkan setiap tahunnya, bahkan bukan mustahil lebih dari 500.000 lulusan sarjana di tahun 2009 dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia.
Apa yang terjadi sebenarnya dengan output pendidikan dan teknologi Indonesia dari riset bila dibandingkan dengan Negara luar dengan melihat sumberdaya manusia kita jauh ketinggalan bahkan jangankan untuk meloncatkan kaki, mengejar pun tidak bisa dengan Negara berkembang lainnya. Suatu hal yang wajar kalau produk daur ulang seperti mainan anak-anak kita impor dari Cina sampai fasiltas sekunder dan tersier sehari-hari pun kita tetap impor saking tidak percaya pada negeri sendiri yang sudah trend masa kini.

Bayangkan dengan pejabat India lebih bangga pakai produk buatan sediri toh jauh meninggalkan Indonesia. Faktanya tiada lain adalah lemahnya riset kita terhadap sensitivitas sains, teknologi dan industry dalam memproduksi yang dinilai sangat rendah dan malahan lamban, sehingga tidak bisa bersaing pasar (Market Competity ) dan lebih dominan impor produk luar alias lebih happy konsumen daripada produksi negeri sendiri, jawab masyrakat awam tiada lain “mana buatan kita dengan Made in Indonesia ? apa ? nggak bisa kan temukan jawabannnya.

Wajah Dunia Riset Indonesia



Tahun 2009 lalu Departemen Pendidikan Nasional mengucurkan 20 persen APBN yang dialokasikan untuk dana riset yang tidak begitu besar melalui Dirjen Pendidikan Tinggi sebagian besar ditujukan untuk para dosen baik negeri maupun swasta di Indonesia. Dana tersebut terserap ternyata cuma sekitar Rp. 250 miliar dari dana ditujukan sebesar Rp. 400 miliar kepada para peneliti Litbang Departemen dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen ini. Sebenarnya dimana fokus permasalannya.

Persoalannya adalah tiada lain sistem kita rusak dari akarnya yang tidak bisa diandalkan sehingga manajemen riset yang dihasilkan pun sangat jelek, mulai dari aturan-aturan yang kontra produktif dan kultur birokrasi yang tidak kondusif. Belum lagi, kondisi laboratorium penelitian, pengadaan bahan riset atau barang modal, pembelian alat-alat tulis kantor yang belum memadai baik akademisi, lembaga pemerintah maupun swasta. Wajar kalau sekitar 3000 peneliti Indonesia enggan mengajukan proposal dan kelihatannya pun terkesan hanya main-main saja.

Koreksi lainnya, contoh ada aturan yang menyebutkan bahwa setiap peneliti maksimum hanya boleh honor tambahan 4 jam sehari dengan dana Rp. 27.500 per jam, jika peneliti itu bekerja 5 hari seminggu, berarti setahun tidak lebih dari Rp. 26.400.000. Parahnya lagi dalam penelitian itu pun, tidak boleh ada pembelian alat atau barang modal lainnya, tidak ada juga perjananan keluar negeri sekalipun untuk presentasi papernya Simposium Ilmiah Internasional, walaupun ada hanya akal-akalan belaka saja jauh dari serius.

Padahal kalau mau tahu banyak sekali dana hibah riset internasional dari Amerika, Rusia, Uni Eropa, Jepang dan Timur Tengah yang justru banyak dimanfaatkan oleh peneliti-peneliti Cina, India, Malaysia dan Singapura. Hibah riset tersebut yang sangat bergengsi dengan jumlah ribuan yang tidak termanfaatkan oleh peneliti kita. Riset kita hanya berkutik perkara kriteria seleksi termasuk didalamnya rekam jejak manajemen riset dan masalah prosedural yang amburadul.

Justru peneliti kita lebih sering disibukkan oleh masalah-masalah di luar riset, misalnya lebih dianggap kampium disegala hal atau lebih fokus dalam berbagai tim non-riset dan kegiatan kepanitiaan yang bersifat sosial. Wajar kalau seperti ini hasilnya lebih sering tidak terpakai oleh para penentu kebijakan. Kebijakan publik lebih didominasi oleh para pembisik yang ngawur, baik dari kalangan politisi sekuler-sosialis, pengusaha kapitalis maupun paranormal.

Inilah sebenarnya wajah dunia riset kita yang hanya sekedar memenuhi report skripsi, tesis, desertasi maupun paper ilmiah yang tersimpan di perpustakaan dan tidak diperhitungkan. Berbeda dengan Jepang, Cina dan India yang sangat diperhitungkan dalam hasil riset baik sains, teknologi dan industri. Bandingkan dengan ketika masa keemasan islam era kekhilafahan islamiyyah para ilmuan banyak menciptakan karya peradaban yang sangat kreatif dan monumental hingga sekarang dibidang sains, teknologi dan industri yang sangat mengagumkan ketika Eropa dan Amerika belum melek ilmu pengetahuan.

Riset Untuk Kesejahteraan Manusia



Bagaimana ketika karya mereka dihargai dengan emas seberat buku yang mereka tulis, sehingga mereka bersemanagat mencurahkan pikiran, waktu, tenaga dan hidup untuk berkarya di jamannya. Seperti al Khawarizmi, ahli dalam aritmatika dan aljabar yang sangat berkembang untuk keperluan sehari-hari maupu dunia kajian ilmiah. Kemudian lahirlah Abu Kamil, al Biruni, Ibnu Sina ( ahli kedokteran), al Karaji dan Leonardo de Pisa menggali pengetahuan dari al Khawarizmi tentang persamaan kuadratis dan kubis yang lalu ditulis dalam bukunya “Liber Abaci”.

Periode selanjutnya banyak melahirkan tokoh sains dunia seperti Issac Newton dari Inggris, Leibniz dari Jerman dan lainnya ketika meraka sangat menghargai produk riset baik sains, teknologi dan industry yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Tujuan tiada lain untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan industry sebagai Negara produksi bukan konsumen yang rela menguburkan bangsa sendiri. Hasil riset mampu menghasilkan produk sendiri atau buatan bangsa sendiri bukannya berbangga hati impor produk luar jika dilihat industri kita juga mampu mendaur ulang yang tidak lebih milik sumberdaya alam hasil eksplorasi maupun olahan daur ulang yang kita jual dengan harga yang murah kemudian kita beli dengan yang mahal. Inilah salah satu bukti kongkrit bila riset diabaikan dan tidak dihargai sebagai prioritas untuk dikembangkan dalam pembangunan. Bukan hal yang tabu kalau intelektual hanya jadi simbol pemuas nafsu kapitalis dan sapi perah setiap saat para pemilik modal, lucunya boro-boro cari produk berkualitas dengan pasar besar dunia. Bisa-bisa 2015 Indonesia gigit jari.

Akhirnya wajar kalau hasil riset luar dalam bentuk produk siap konsumsi membajiri pasar lokal baik merk Jepang, Cina, Korea, Taiwan dan lain-lain. Kalau memang ingin serius mensejahteraan negeri ini berdaya sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang ada untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang tidak beroreintasi manfaat dan tujuan materi tetapi pertimbangan karena adanya sebuah tuntutan ideology yang berasal dari sang pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan menuju sebuah negara yang mandiri dan disegani dengan karya kejayaan dalam mengatasi keterpurukan dengan bangkitnya sains, teknologi dan industri yang kongkrit.semoga !


0 comments:

Post a Comment