Tuesday, February 26, 2013



Tanah bagi hidup dan penghidupan manusia merupakan “condition sine qua non” yang artinya “prasyarat atas tanah bagi kehidupan manusia”. Perkembangan hubungan manusia dengan tanah semakin lama semakin luas dan kompleks dimulai dengan tahap penguasaan individu terhadap tanah sampai corak yang diciptakan oleh Negara. Di Indonesia, secara konstitusional masalah tanah sebagai permukaan bumi, diatur dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa pasal 33 ayat (3), berkaitan erat dengan penguasaan tanah. Tanah merupakan permukaan bumi yang bisa dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Hak menguasai atas tanah tersebut pelaksanaanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan bentuk Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan.
“Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”
Namun mengingat luas wilayah, hasil guna dan daya guna, maka wewenang pemerintah pusat tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan pada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.
“Hak menguasai dari Negara tersebut, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat apabila di perlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah”


Kedudukan daerah swatantra dalam pelaksanaan hak menguasai atas tanah tersebut sebagai badan penguasa. Sedangkan pelimpahan wewenangnya berbentuk pembantuan.
Dari salah satu konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria diwajibkan mengatur pemilikan dan penggunaan tanah, sehingga semua tanah diseluruh wilayah kadaulatan bangsa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun gotong royong.
Pokok pikiran bahwa Negara hanya menguasai tanah bukan memiliki tanah itu menunjukan bahwa hubungan hukum  antara  Negara dengan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dengan “Hubungan Kekuasaan” menurut sistem Hukum Agraria Nasional menunjukkan adanya kedaulatan rakyat atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa Negara Republik Indonesia yang diProklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah suatu Gezagorganisatie dalam bahasa belanda adalah otoritas organisasi, artinya tertinggi mempunyai fungsi mengatur dan mengembangkan kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan fungsi pelaksanaan/fungsi pemerintah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum seperti yang diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993, jo Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Kepentingan Umum, jo Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 yang berbunyi: “pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Selain itu: ”pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau menyerahkan hak atas tanah”. Sehingga berbunyi sebagai berikut: ”pelepasan ataau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah”. Ditambahkan peraturan yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila yang berhak atas tanah atau benda benda yang ada diatas haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam keputusan presiden, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada pengadilan tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya”.
Pemerintah Kota Kotamobagu tampaknya untuk sementara waktu harus mengurungkan niat untuk merelokasi Pasar Serasi. Pasalnya, Pemerintah Kota sedang menghadapi dua gugatan sekaligus di Pengadilan Negeri (PN) Kotamobagu, yakni gugatan class action dari pihak pedagang yang menolak direlokasi, dan gugatan dari pihak yang mengaku sebagai pewaris sah tanah pasar serasi.
Pihak pedagang melalui Asosiasi Pedagang Pasar Serasi telah melayangkan gugatan class action mereka sejak beberapa waktu lalu. Dan, pihak pewaris pun telah melakukan hal yang sama dengan menunjukkan bukti kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Kotamobagu.
“Sidang gugatan baik class action maupun ahli waris masih berjalan, mungkin bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk mencapai putusan,” Humas Pengadilan Negeri Kotamobagu.
Pengadilan Negeri juga mengancam pihak Pemerintah Kota untuk tidak melakukan aktivitas apapun di lahan tersebut. Serta, tidak melakukan pemagaran sebelum kasus ini tuntas. Apabila, Pemerintah Kota melanggar maka harus bertanggung jawab. “Lahan Pasar Serasi berstatus sengketa, jadi tidak ada aktivitas untuk sementara”. Hal ini berkaitan dengan rencana pemerintah untuk membangun pasar modern di Kotamobagu.
Sempat dilakukan tindakan mediasi kepada kedua pihak yang bermasalah untuk melakukan musyawarah, meski mediasi pertama  menemui kegagalan.
“Dalam proses mediasi pedagang meminta Pemerintah Kota menjelaskan seperti apa konsep pasar Modern yang akan dibangun, serta yang utama terkait hak-hak pedagang yang ternyata tidak sama sekali memihak pedagang”.
Sengketa adalah sengketa yang sebagai akibat perlakuan/suatu perbuatan subjek hukum yang berakibat hukum baik terhadap sesama warga, aparatur, maupun swasta dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan hak terhadap tanah pasar serasi yang menjadi lahan sengketa antara pihak pedagang pasar serasi, pihak ahli waris sebagai pemilik tanah dan Pemerintah Kota.
Sengketa merupakan pertikaian/perselisihan/perkara hukum yang artinya sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran dan perbantahan perkara yang kecil dapat juga menimbulkan pertikaian lebih besar. Dalam hal ini perbedaan pendapat antara pihak pedagang pasar serasi, pihak ahli waris sebagai pemilik tanah dan Pemerintah Kota soal tanah pasar serasi yang akan relokasi menjadi pasar modern.
Sengketa daerah (wilayah) ialah daerah yang menjadi rebutan (pokok pertengkaran), dalam hal ini tanah pasar serasi yang akan di bangun sebagai pasar moderen Kota Kotamobagu.
Upaya penyelesaian dengan cara damai pernah dilakukan tetapi tidak mencapai suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, maka penyelesaian dengan cara hukum pengadilan telah ditempuh oleh pihak yang bersengketa.
Timbulnya sengketa hukum adalah bermula dari pangaduan secara sepihak yang dilakukan asosiasi pedagang pasar serasi bersama pihak pewaris tanah yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah pasar serasi, prioritas (yang lebih berhak) atas tanah pasar serasi dan kepemilikannya pewaris tanah dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Berakhir kepada tuntutan bahwa ia adalah yang lebih berhak dari yang lain atas tanah sengketa, dalam memutuskan pengelolaan tanah pasar serasi harus ada persetujuan dari pihak memilik tanah (pihak pewaris tanah).
Sengketa tanah tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan konsep Negara kesatuan Republik Indonesia yaitu Negara hukum (pasal 1ayat (3) UUD tahun 1945), karena itu setiap terjadi sengketa haruslah diselesaikan menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tercipta rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat, sebagai implementasi Negara hukum yang demokratis.
Pewaris tanah sebagai pemilik hak atas tanah pasar serasi, pedagang/penjual yang memanfaatkan lahan/tempat yang disediakan oleh pemerintah pada pasar serasi dan pemerintah sebagai pengelolah pasar serasi selaku penanggung jawab, dari ketiga pihak bersengketa telah melalui perundingan/musyawarah atau negosiasi, mediasi yang panjang yang belum mendapat penyelesaian sengketa hingga sekarang. Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di Kota Kotamobagu Provinsi Sulawesi Utara, dengan judul : “ANALISIS PROSES PENYELESAIAN SENGKETA TANAH DI KECAMATAN KOTAMOBAGU KOTA KOTAMOBAGU SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PASAR SERASI)”.

0 comments:

Post a Comment