Berakhirnya Perang Dunia II, telah membawa perubahan besar dalam pola-pola hubungan antarnegara di level internasional. Perubahan besar itu terlihat dengan bermunculannya organisasi-organisasi kerjasama antarnegara, terutama di tingkat regional, misalnya Uni Eropa atau European Union (EU) di Eropa, North America Free Trade Area (NAFTA) di Amerika Utara, Association of South East Asian Nations (ASEAN) di Asia Tenggara, dan Mercado Comun del Sur (MERCOSUR) di Amerika Latin. Kehadiran organisasi-organisasi tersebut tentunya memberi warna baru bagi Hubungan Internasional (HI), dimana dunia cenderung bergerak menuju pada suatu tatanan dunia baru yang dikuasai organisasi-organisasi regional dan negara-negara ada dalam satu kesatuan (integrasi). Sebagai akibatnya, batas-batas negara menjadi kabur, identitas wilayah menjadi samar serta terjadi pengerucutan jumlah negara. Terbentuknya organisasi- organisasi regional tersebut semakin dibuat kompleks oleh adanya arus globalisasi.
Salah satu organisasi regional yang pertama muncul pasca Perang Dunia II, yaitu Uni Eropa. Awal berdirinya dapat ditelusuri di akhir masa Perang Dunia II, ketika para anggota pendirinya memutuskan bahwa cara terbaik untuk mencegah konflik adalah dengan membentuk European Coal and Steel Community (ECSC) atau Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa, organisasi ini mengelola secara bersama produksi batu bara dan baja, dua bahan utama yang diperlukan untuk berperang. Traktatnya ditandatangani tanggal 18 April 1951, di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952 sampai tahun 2002. Negara-negara pemrakarsa Uni Eropa adalah Belgia, Jerman, Prancis, Italia, Luksemburg, dan Belanda. Dalam perkembangannya terjadi perluasan keanggotaan dan sampai saat ini Uni Eropa telah memiliki 27 negara anggota.
Pada tahun 1973, Denmark, Irlandia, dan Inggris Raya bergabung menjadi anggota Uni Eropa. Yunani pada tahun 1981, kemudian disusul oleh Spanyol dan Portugal tahun 1986. Reunifikasi Jerman tahun 1990, membawa masuk wilayah Jerman Timur. Tahun 1995 Austria, Finlandia, dan Swedia resmi menjadi anggota dari Uni Eropa. Perluasan pada tahun 2004 membawa masuk negara-negara Eropa Timur, seperti; Republik Ceko, Estonia, Siprus, Latvia, Lithuania, Hongaria, Malta, Polandia, Slovenia, dan Slowakia. Kemudian disusul oleh Bulgaria dan Rumania pada tahun 2007.[1]Dan akan disusul Kroasia sebagai anggota ke-28 secara resmi pada tanggal 1 Juli 2013 karena telah menandatangani perjanjian penggabungannya pada tanggal 9 Desember 2011.[2]Negara-negara lain yang menjadi kandidat anggota Uni Eropa adalah Makedonia, Montenegro, dan Turki. Namun, salah satu dari ketiga negara ini, yakni Turki menghadapi berbagai hambatan untuk menjadi anggota Uni Eropa. Persoalan budaya atau persoalan agama kemungkinan yang menjadi halangan sebab Turki telah mendaftar sejak tahun 1980.[3]Syarat menjadi anggota Uni Eropa adalah suatu negara harus memiliki demokrasi yang stabil yang menjamin supremasi hukum, hak-hak asasi manusia, dan perlindungan kaum minoritas. Negara tersebut juga harus memiliki ekonomi pasar yang berfungsi serta administrasi publik yang dapat menerapkan dan mengelola undang-undang Uni Eropa.[4]
Dalam sejarah perjalanannya, Uni Eropa menjelma menjadi satu kekuatan baru yang tangguh dan disegani masyarakat internasional karena dianggap sebagai satu-satunya organisasi regional yang berhasil secara penuh mengintegrasikan anggota-anggotanya dalam satu wadah kebijakan bersama dan menjadi organisasi yang selalu dicermati kebijakannya, karena dapat dipastikan membawa dampak internasional lantaran kebijakan tersebut merupakan suara bersama yang ditaati oleh semua negara anggotanya. Kebijakan bersama Uni Eropa sangat terlihat pengaruhnya di bidang ekonomi, meskipun dalam beberapa kasus, keputusan-keputusan Uni Eropa masih memberikan pengecualian untuk tidak ditaati karena kondisi-kondisi khusus yang dialami negara anggota.[5] Misalnya kebijakan penggunaan mata uang tunggal euro yang belum dipenuhi oleh semua negara anggota. Dari 27 anggota, baru 17 negara yang resmi memakai euro sebagai mata uang negaranya yakni; Jerman, Irlandia, Belanda, Perancis, Luksemburg, Austria, Finlandia, Belgia, Italia, Portugal, Spanyol, Yunani, Slovenia, Siprus, Malta, Slowakia, dan Estonia. Wilayah pengguna mata uang ini disebut “Zona Euro”, sedangkan sepuluh negara lainnya yang belum menggunakan mata uang Euro (Zona Non Euro) yaitu Denmark, Inggris, Swedia, Republik Ceko, Latvia, Lithuania, Hongaria, Polandia, Bulgaria, dan Rumania.[6] Hal tersebut memang diizinkan dalam Perjanjian Maastricht 1992, dengan konsepsi dasar opt out dan opt in (opt in adalah suatu kewajiban dari negara anggota tetap ikut dalam semua aturan yang dibuat oleh Uni Eropa, dan opt out adalah hak dari negara anggota Uni Eropa untuk keluar dari aturan-aturan yang dibuat oleh Uni Eropa jika bertentangan dengan kepentingan nasionalnya).[7]
Pada tahun 1999, euro lahir di Eropa. Awalnya, euro adalah mata uang tunggal untuk menggantikan mata uang sebelas negara Eropa, yaitu; Austria (schilling), Belgia (franc), Finlandia (markka), Prancis (franc), Jerman (mark), Italia (lira), Irlandia (punt), Luksemburg (franc), Belanda (guilder), Portugal (escudo), dan Spanyol (peseta). Ketika suatu negara telah bergabung ke dalam zona euro, peraturan yang harus ditaati adalah; utang pemerintah (baik dalam ataupun luar negeri) tidak boleh melebihi 60% GDP yang dihitung dari market price, defisit anggaran pemerintah tidak melebihi 3% GDP, inflasi tidak melebihi 1,5% dari rata-rata di tiga negara terbaik, tingkat suku bunga yang tidak melebihi 2% dari tiga negara yang terbaik tingkat inflasinya, stabilitas nilai tukar yang tidak melebihi batas toleransi 2,5% dari batas currency band yang bergerak ke atas ataupun ke bawah.[8]
Penyatuan mata uang menjadi euro merupakan salah satu langkah negara-negara Eropa untuk mencetak “Eropa Baru” yang lebih kuat di pentas ekonomi dan politik dunia. Jika harapan ini terwujud, akan lahir Eropa Baru yang terintegrasi dengan konsumen sekitar 300 juta jiwa dan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) 6 triliun dollar. Eropa Baru ini bisa saja menandingi Amerika Serikat yang telah lebih dahulu dikenal sebagai negara superpower.[9]Kekuatan baru ini akan bertambah besar jika Inggris, Denmark, Swedia, dan beberapa negara Zona Non Euro lainnya bergabung ke klub Euro atau menggunakan mata uang Euro.
Selain penggunaan mata uang, masalah yang masih ditolak beberapa negara Uni Eropa hingga sekarang ini adalah Konstitusi Eropa. Dimana Prancis dan Belanda tidak setuju dengan konstitusi tersebut. Bahkan masalah ini dibawa sampai ke dalam referendum di kedua negara. Hasilnya, rakyat dua negara pendukung utama Uni Eropa ini tidak menyetujui konstitusi baru untuk membuat Uni Eropa lebih terintegrasi, dimana 55% masyarakat Perancis dan 62% masyarakat Belanda menolak Uni Eropa.[10] Bagi mereka, Uni Eropa tidak lebih dari sebuah proyek elite para politisi karena penuh aturan birokrasitetapi tidak memberikan keuntungan nyata buat masyarakat umum.
Perjalanan sejarah Uni Eropa sebenarnya nyaris penuh dengan keberhasilan. Tahun 1995 hampir seluruh negara Eropa Barat bergabung. Tahun 1998 sistem keuangan Eropa terintegrasi dalam mata uang tunggal: Euro. Tahun 2004 bertambah lagi 10 negara Uni Eropa baru dari mantan negara komunis Eropa Timur. Ini menjadikan Uni Eropa sebagai kekuatan ekonomi besar di duniasekaligus menjadi satu-satunya contoh organisasi regional terbaik dunia.[11] Wajar saja kalau keberadaannya dikagumi oleh organisasi regional manapun di dunia.
Namun, kondisi ini berbalik dan membuat harapan itu goyah dengan adanya krisis ekonomi global yang mulai melanda Uni Eropa pada tahun 2008 sampai saat ini. Krisis ekonomi tersebut telah membuat Uni Eropa mulai memasuki fase-fase sulit. Krisis ekonomi Uni Eropa berasal dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat yang telah menyebabkan krisis finansial global. Kedua krisis tersebut telah membawa implikasi buruk pada kondisi ekonomi global secara menyeluruh hampir di setiap negara baik di Kawasan Amerika, Eropa, maupun Asia Pasifik. Dampak tersebut terjadi karena tiga permasalahan yaitu adanya investasi langsung, investasi tidak langsung, dan perdagangan.[12]Saat ini, hampir semua negara-negara di dunia menganut sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan regulasi moneter tiap negara yang beragam. Akibatnya setiap negara memiliki risiko terkena dampak krisis. Begitulah alur krisis finansial Amerika Serikat mempengaruhi Uni Eropa sehingga bisa dilanda krisis ekonomi.
Inti dari krisis ekonomi Uni Eropa adalah ketidakmampuan negara dalam membayar uatang-utangnya. Krisis ekonomi pertama kali melanda Yunani kemudian ke Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia. Menurut salah satu lembaga pemeringkat utang terkemuka, Moody’s, dalam soal nilai-menilai kinerja keuangan negara, terdapat enam kelompok kategori.
Pertama AAA, yaitu kemampuan yang amat tinggi memenuhi kewajiban keuangan. Ada enam negara Zona Euro yang termasuk dalam kategori ini, yaitu: Jerman, Finlandia, Belanda, Prancis, Luksemburg, dan Austria. Kedua AA, merupakan kategori negara yang mempunyai kapasitas sangat tinggi memenuhi kewajiban keuangannya. Negara yang masuk dalam kategori ini adalah Belgia, Spanyol, dan Slovenia. Ketiga A, yaitu negara yang mempunyai kapasitas tinggi memenuhi kewajiban keuangannya. Namun, sewaktu-waktu menghadapi kondisi kesulitan keuangan dan ketidakstabilan domestik mendadak. Negara zona euro yang masuk dalam kelompok ini adalah Slovakia, Italia, Malta, dan Estonia. Keempat BAA, yaitu kategori negara yang mempunyai kapasitas memenuhi kewajiban keuangannya, tetapi saat ini berada dalam kesulitan ekonomi. Negara Zona Euro yang masuk kategori ini adalah Cyprus dan Portugal. Kelima BA, merupakan kategori penilaian minimum bagi investasi di negara ini. Negara Zona Euro yang masuk kategori ini adalah Irlandia. Keenam CA, merupakan kategori beresiko tinggi, baik dalam investasi maupun sangat rendahnya kepercayaan dalam memenuhi kewajiban keuangannya dan satu-satunya negara zona euro yang masuk dalam kategori ini, Yunani.[13]
Krisis ini juga telah menimbulkan perubahan mendasar bukan hanya bagi tata ekonomi global, namun juga bagi struktur politik global. Ideologi ekonomi politik Barat yang dianggap gagal dan kemunculan China sebagai motor kebangkitan dari krisis global telah memunculkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Barat dan memunculkan spekulasi bergesernya kekuatan ke negara Timur. Jika ditinjau dari konsep structural power, kemungkinan bergesernya kekuatan ke negara Timur belumlah mungkin karena kendati telah ada perubahan dari sisi relational power, structural power dari Amerika Serikat belum sedikit pun berkurang.[14]Kendati demikian, ketegangan antara negara Barat dan Timur masih mungkin terjadi yang utamanya disebabkan oleh ketidakpuasan atas pengaturan tatanan keuangan (finansial) yang ada kendati telah mengalami reformasi dan semakin meningkatnya nasionalisme di seluruh dunia.
Krisis ekonomi Uni Eropa mulai terasa pada tahun 2008 dan semakin ramai diperbincangkan pada pertengahan tahun 2009. Negara-negara Uni Eropa yang terkena krisis ekonomi memiliki utang yang lebih besar dari PDB-nya (di atas 60%), pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah bahkan sampai pada posisi minus dan juga negara-negara mengalami defisit anggaran yaitu pengeluaran negara lebih besar dari PDB. Sementara dalam Otoritas Moneter Uni Eropa telah diatur bahwa rasio utang negara zona euro tidak boleh di atas 60% dari PDB-nya dan defisit tiap negara tidak boleh di atas 3% dari PDB.
Di Yunani, utang negaranya terus menumpuk dari tahun ke tahun. Pada tahun 1993, posisi utangnya sudah di atas PDB-nya, dan sampai sekarang pun masih demikian. Saat ini utang Yunani diperkirakan telah mencapai 120% dari posisi PDB-nya. Posisi utang terakhir Yunani (setelah adjustment/penyesuaian) tercatat kurang lebih € 350 miliar, atau sekitar US$ 450 miliar.[15]Defisit anggaran tahun 2011 mencapai 9,1%. Dari tahun 2000-2007 (sebelum krisis ekonomi), Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi sekitar 4,2%,[16]namun setelah diterpa krisis hebat yang berkepanjangan, pertumbuhan ekonominya bisa dipastikan kurang dari angka tersebut.
Irlandia merupakan negara kedua yang dilanda krisis ekonomi dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 96,2% untuk tahun 2011. Utangnya juga besar, mencapai 148 miliar euro dengan defisit anggaran 32,4% terhadap PDB. Sampai 2008, Irlandia menikmati pertumbuhan ekonomi cukup tinggi untuk skala Eropa, yakni sekitar 6,5%. Proyeksi setelah itu adalah 0,5%. Salah satu penyebab krisis ekonomi di negara ini adalah peminjaman yang tak terkendali untuk sektor properti yang tak terjamin pertumbuhannya. Dengan belanja besar, pemerintah terpuruk karena harus membantu perbankan yang terlilit utang.
Portugal menyusul terkena krisis ekonomi, dimana rasio utang terhadap PDB-nya pada tahun 2010 mencapai 83% dengan utang negara sebanyak 195 miliar euro. Defisit anggarannya mencapai 9,1% terhadap PDB. Demikian juga pertumbuhan ekonominya jika dipakai standar tahun 1995-2008 dengan rata-rata 2,2 %, maka 2009-2015 akan mengalami -1,5%. Portugal tidak mengalami beban peminjaman publik dalam sektor properti, tetapi belanja pemerintah yang terlalu banyak (pemborosan anggaran) menyebabkan negaranya masuk dalam pusaran krisis ditambah produktivitas sektor swasta yang rendah.[17]
Spanyol mengalami krisis ekonomi dengan rasio utangnya terhadap PDB pada 2011 sebesar 60,1%. Jumlah total utang Spanyol saat ini diperkirakan mencapai 638 miliar euro dengan angka defisit 9,2 %. Pertumbuhan tahun 2009-2015 diperkirakan tidak mencapai angka minus, tetapi rendah sekali, yakni 0,8%, padahal sebelumnya antara 1995 dan 2008 rata-rata mencapai 3,5%. Akar persoalan di Spanyol mirip dengan Irlandia dimana sektor perumahan yang menggelembung ditambah sektor konstruksi yang buruk, juga membawa negeri ini ke pusaran krisis. Tingkat pengangguran 20% memperparah situasi di Spanyol.[18]
Italia pun tertimpa krisis ekonomi dengan rasio utang terhadap PDB sebanyak 119% pada tahun 2011, utang mencapai hampir 1,9 triliun euro ditambah defisit mencapai 3,9% terhadap PDB. Italia sudah dikhawatirkan akan gagal membayar utangnya (default) karena dilanda krisis politik disertai ketidakmampuan pemerintah melakukan reformasi. Bahkan utang negara semakin bertambah dan terakhir dilaporkan mencapai 2 triliun euro.[19]
Melihat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya krisis ekonomi, investor di kelima negara berharap langkah-langkah yang lebih konkret untuk menstabilkan kondisi keuangan pemerintah yang sedang dilanda krisis utang sekarang ini. Mereka ingin melihat penciptaan kerjasama di antara negara-negara yang menggunakan mata uang euro.[20]
Adapun, alasan penulis mengambil negara-negara Yunani, Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Italia adalah pertama alasan geografis yaitu kelima negara tersebut merupakan anggota benua Eropa terkhusus bagian dari Uni Eropa yang notabene sejak terbentuknya menjadi kawasan yang mendapat sorotan dari mata internasional karena dinilai paling solid dalam bidang ekonomi dan politik sehingga memunculkan banyak prestasi dan kemajuan. Namun, kali ini menjadi perhatian dunia internasional bukan lagi karena kemajuannya tetapi karena terjadinya persoalan yang serius yaitu krisis ekonomi khususnya yang melanda lima negara anggotanya tersebut. Jadi, dalam bahasan ini penulis ingin mengetahui bagaimana kesiapan dan solidaritas regional Uni Eropa khususnya zona euro dalam mengatasi krisis ekonomi ini. Alasan kedua adalah faktor sebab-akibat, yaitu hal apa yang menyebabkan krisis ekonomi ini sehingga kerugian yang ditimbulkannya sangat besar bahkan mempengaruhi hampir semua negara di kawasan Eropa sehingga penulis ingin mengetahui bagaimana sikap Uni Eropa sebagai organisasi regional dalam mengatasi hal krisis yang terjadi di kawasan ini. Alasan ketiga adalah faktor waktu, yaitu krisis ekonomi ini sudah berlangsung dalam waktu yang cukup lama (2008-sekarang) namun masih saja menjadi salah satu fokus dunia internasional sampai saat ini.
Uni Eropa sebagai organisasi regional tentunya diharapkan oleh banyak pihak khususnya negara-negara yang terkena krisis ekonomi agar segera mencari jalan keluar untuk membawa keluar negara-negaranya dari krisis tersebut sehingga perekonomian regionalnya bisa kembali stabil seperti sedia kala. Dari fakta tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat sebuah penelitian yang berjudul; “Kebijakan Uni Eropa dalam Mengatasi Krisis Ekonomi PIIGS”.
0 comments:
Post a Comment