Pasca Perang Dunia I, semangat nasionalisme menyebar ke seantero dunia dan mendorong negara-negara yang masih berkutat dengan kolonialisme untuk segera mendapatkan kemerdekaannya. Pada masa ini kemudian dapat dipastikan bahwa ke depan, nasionalisme akan terus menjadi ideologi yang menginspirasi dan mendorong gerakan pembentukan komunitas bersama berdasarkan karakteristik etnis, kultur, atau pun politik.
Sejarah munculnya faham nasionalisme di dunia tidak dapat lepas dari pengaruh Revolusi Perancis, namun hal ini juga sekaligus menjadi cikal bakal awal meletusnya Perang Dunia IIsekaligus munculnya fasis. Nasionalisme pada intinya memiliki beberapa gagasan pokok diantaranya, pertama, nasionalisme berhubungan dengan penemuan identitas nasional. Kesadaran akan identitas nasional ini dapat dipicu oleh letak geografis, misalnya sekelompok masyarakat hidup dalam sebuah wilayah yang sama menyadari keberadaannya sebagai satu bangsa yang memiliki pengalaman pahit tertentu yang dialami secara bersama.
Kedua, nasionalisme berhubungan dengan kesadaran akan teritori. Dalam hal ini ketika suatu bangsa menyadari bahwa tanah airnya sedang dibawah kekuasaan asing maka kesadaran untuk melepaskan diri dari penjajahan muncul. Kesadaran akan teritori ini bersifat regional atau lokal; terbatas pada wilayah yang dihuni oleh kelompok suku atau etnis yang sama.
Negara-bangsa (nation-state) lahir sebagai bentuk dari kesadaran sebagai bangsa (nasionalisme), namun hal ini dapat mencapai anti-klimaks–nya manakala paham nasionalisme ini diartikan secara berlebihan. Kebangkitan rasa nasionalisme pasca Perang Dunia I kemudian menyebabkan lahirnya pemimpin-pemimpin yang anti toleransi terhadap suku bangsa yang lainnya. Rasa sentimen akibat masa lalu menyebabkan para pemimpin, khususnya dibenua Eropa saling berlomba-lomba untuk kembali merebut kejayaannya. Hal ini kemudian tanpa disadari melahirkan kelompok-kelompok yang memiliki rasa nasionalisme yang berlebihan (new fascists) yang mempropagandakan doktrin-doktrin “nasionalisme” tentang supremasi rasial, antisemitisme, dan penaklukan dunia.
Pada dasarnya kelompok-kelompok ini meyakini bahwa demokrasi dan pemilihan umum adalah tanda-tanda “kelemahan” dan “korupsi” pada “semangat nasional”. Mereka mendambakan seseorang yang kuat, seorang tokoh penyelamat nasional yang akan menyingkirkan berbagai kompromi, tawar menawar yang lambat dan damai dalam demokrasi, dan menggantinya dengan otorits mutlak seorang pemimpin, suatu sistem disiplin yang kaku dan kepatuhan buta, moralitas prajurit, dan usaha gigih untuk mendapatkan supremasi rasial atau nasional lewat kekerasan.
Gerakan fasis pada dasarnya bertujuan untuk membangkitkan kondisi bangsanya yang terpuruk serta memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, namun untuk mencapai tujuan tersebut mereka tidak akan pernah mengingkari tujuan utamanya yaitu menghapuskan demokrasi parlementer dan pemilihan umum bebas. Fasisme secara aktif menceramahkan “supremasi” dan “kemurnian” rasial, dan mempromosikan rasisme, prasangka bururk, serta diskriminasi.
Suatu bagian yang integral dalam ideologi fasis adalah misi untuk menindas, memperbudak, membuang, bahkan menghancurkan budaya-budaya/etnis minoritas[1]. Pluralisme dan heterogenitas merupakan pantangan bagi ideologi fasis, mereka berusaha menghilangkan perbedaan budaya-etnis dengan sistem kontrol menyeluruh. Secara historis, implementasi utama dari fasisme adalah Nazi (Sosialisme Nasional) Jerman dan Fasisme mussolini.
Gerakan Nazi merupakan gerakan yang sangat kental dengan gerakan antisemitismenya, dan kepercayaan terhadap superioritas Ras Arya; khususnya ras Jerman, yang akan menjadi Herrenvolk (ras penguasa) dalam suatu tatanan dunia baru berdasarkan suatu hirarki dominasi rasial[2]. Kebencian Nazi terhadap kaum Yahudi berpuncak pada genocide (pembasmian ras) yang tidak ada tandingannya dalam sejarah eropa.
Di sisi lain gerakan Falangis (fasis) di Spanyol yaitu Fuerza Nuevaa (kekuatan baru), terhadap undang-undang otonomi bagi kawasan Basque dan terhadap gerakan-gerakan otonomi regional lain seperti Catalonia menghadirkan sebuah Fasisme dibawah pemerintahan Jendral Franco yang otoriter. Suku Basque yang bermukim di Bilbao; salah satu kota terbesar di Pais Valco, bagian utara Spanyol dan merupakan ibu kota dari provinsi Vizcaya (Basque); dan mengalami tindakan diskriminasi rasial oleh pemerintah Spanyol.
Kepemimpinan Jendral Franco di Spanyol yang berlangsung selama 36 tahun sejak tahun 1939 hingga saat ia meninggal pada tahun 1975. Pemerintahan Franco diawali dengan peperangan, yaitu yang terkenal dengan Perang Sipil Spanyol pada tahun 1936 hingga 1939[3], dimana Spanish Falangekehilangan pimpinan mereka Jose Antonio de Rivera ketika dieksekusi oleh kelompok militan sayap kiri dibawah pimpinan Franco. Perang ini meninggalkan kerugian yang sangat besar bagi Spanyol selama bertahun-tahun. Sejak Rezim Franco memerintah di Spanyol, Franco banyak melakukan perubahan terhadap kebijakan-kebijakan yang terdahulu, hal ini terutama bertujuan untuk memperkuat nation building Spanyol setelah perang saudara[4] , pertama, melarang penggunaan atribut dan bahasa daerah dan hanya diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa resmi, kedua, pelaranganpengibaran bendera selain bendera Spanyol dan memusatkan segala kekuasaannya di ibukota.
Spanyol adalah negara yang terdiri dari beberapa provinsi dan setiap provinsinya memiliki bahasa, budaya, dan bendera tersendiri. Hal ini jelas ditentang oleh banyak masyarakat Spanyol, khususnya mereka yang bukan berasal dari ibukota Madrid. Namun tidak banyak protes yang bisa dilakukan karena pemerintahan Franco yang otoriter dan siapa yang berani menentangnya akan ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal inilah yang menyebabkan banyak daerah di Spanyol yang berusaha untuk memisahkan diri dan menganggap diri mereka bukanlah bagian dari Spanyol,sebut saja Basque dan Catalonia.
ETA (Euskadi Ta Askatasuna) (Basque Father Land) (Pembebasan Tanah Basque) berawal dari sebuah grup diskusi yang dibentuk oleh mahasiswa- mahasiswa asal Basque pada tahun 1952 di Universitas Deusto di Bilbao yang menjadikan usaha untuk menentang pemerintahan diktator dari Jendral Francisco Franco sebagai isu utama dari grup diskusi tersebut. Akhirnya pada tahun 1959 pada tanggal 31 Juli 1959 dibentuklah ETA sebagai kelompok perlawanan rakyat Basque[5]. Gerakan ETA bermarkas di Provinsi Basque, Spanyol; Vizcaya, Alava, Guipuzcoa, Navarra, dan Provinsi Basque Perancis yang beroperasi di dua negara berbeda, yakni Spanyol dan Perancis.
Berdasarkan pada pergerakan nasionalisme pada umumnya, perjuangan Bangsa Basque juga dimotori oleh sekelompok aktivis mahasiswa, masyarakat urban yang tidak puas dengan pemerintahan yang ada. Kelompok ini kemudian berubah menjadi organisasi separatis dan bersenjata, bahkan menjadi salah satu organisasi pemberontak paling lama di Eropa.
Pada perkembangannya ETA bertujuan politik untuk menetapkan kemerdekaan dan paham Marxis Basque sebagai sebuah negara, Euzkadi, lewat aksi Gerakan, menentang kepentingan Spanyol dan menekan pemerintah kedalam sebuah konsesi serta menciptakan sebuah krisis ekonomi di Basque dengan sabotase dan melakukan aksi teror dalam wilayah tersebut.Tindakan yang dilakukan ETA adalah beragam dari sekedar membuat graffiti yang berisi pesan-pesan kemerdekaan Basque atau bahkan ancaman bagi pemerintah dan pengerusakan fasilitas-fasilitas umum hingga pencurian, penculikan, pembunuhan, dan teror bom. Namun ada yang unik dalam modus operandi ETA, yaitu untuk teror bom, ETA biasanya memberikan peringatan dengan menelpon pihak yang bersangkutan dengan objek pemboman dan mengatakan bahwa akan terjadi ledakan ditempat tersebut sehingga dapat dilakukan evakuasi sebelum bom meledak.
Aksi perlawanan pertama yang dilakukan oleh ETA, yakni terlibat dalam pengeboman di kota Bilbao, Vitoria, dan Santander pada 1959. Selanjutnya pada tahun 1961, ETA melakukan aksi militer pertamanya, yakni ketika mencoba untuk menggelincirkan kereta api yang memuat pasukan veteran perang saudara yang hendak ke San Sebastian untuk memperingati dua puluh lima tahun perang saudara di Spanyol.
Pada saat Jendral Franco meninggal dunia tahun 1976, kondisi perpolitikan di Spanyol berangsur-angsur membaik, banyak orang yang dari pengasingan kembali. Pemerintah Spanyol juga memberikan otonomi yang cukup besar untuk setiap daerah di Spanyol. Wilayah Basque juga diberikan kebebasan untuk mengelolah daerahnya dan diberikan kontrol atas isu-isu seperti pendidikan dan pajak, sementara bahasa dan budaya Basque juga mulai diajarkan di sekolah. Di sisi lain, kelompok ETA menganggap bahwa otonomi parsial yang diberikan oleh pemerintah tidak cukup. Mereka percaya bahwa Basque harus memiliki kemerdekaan penuh dari Spanyol, dan untuk itu maka kelompok ETA mengintensifkan kembali kekerasan dan teror dengan sasaran utama aparat kemanan dan para politisi.
Kelompok ETA ini kemudian diyakini memperoleh sokongan dana dari masyarakat Basque, pemerasan, perdagangan narkoba, penculikan dengan uang tebusan, dan perampokan bersenjata. Dana yang kemudian dihasilkan akan digunakan untuk membiayai kegiatan seperti pembunuhan (target utama pemerintah Spanyol dan Perancis), serangan bom di tempat-tempat umum, dan perlawanan gerilya. ETA beroperasi disebagian besar daerah-daerah otonom Basque, Spanyol utara dan bagian barat daya Perancis.
Pemerintah Spanyol selama bertahun-tahun berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan ETA karena aksi-aksi radikal yang dilakukan ETA telah banyak menyebabkan kerugian besar bagi Spanyol antara lain, dengancara militer yaitu menggeledah tempat-tempat yang dianggap sebagai basis dari perkumpulan ETA dan menangkap anggota-anggota ETA, membuat kebijakan-kebijakan khusus yang berhubungan dengan ETA, seperti melarang aktivitas partai politik Basque yang berhubungan dengan ETA.
Sejak memasuki awal abad ke 21 tepatnya pasca peledakan gedung kembar WTC dan Pentagon (9/11) tahun 2001, aktivitas kekerasan ETA berangsur-angsur menurun. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Amerika Serikat “war on terror” sehingga membuat negara-negara sekutunya juga ikut melakukan hal tersebut. Spanyol merupakan sekutu dari Amerika Serikat yang kemudian mengeluarkan kebijakan anti-teror dan kebijakan kontra-terror ditahun 2002. Kebijakan anti-teror merupakan kebijakan yang lebih bersifat defensif seperti pembuatan undang-undang “Lay de Partidos” yang memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah Spanyol untuk menghambat perkembangan kelompok terorisme. Kebijakan kontra-teror ialah kebijakan yg lebih bersifat ofensif seperti pembentukan kerjasama aparat keamanan Spanyol dan Perancis dalam membasmi kelompok terorisme.
Hal ini kemudian menjadi menarik ketikan tahun 2003 pemerintah Spanyol juga memberikan otonomi seluas-luasnya bagi 17 provinsi di Spanyol termasuk Basque yang salah satunya untuk dapat mempunyai pemerintahan lokal sendiri yang berada langsung dibawah Madrid, serta usaha diplomasi untuk menyelesaikan konflik secara damai.. Namun karena kedua belah pihak memiliki tujuan yang sangat bertentangan, yaitu ETA menginginkan Basque merdeka sedangkan Spanyol menginginkan Basque untuk tetap berada dibawah Spanyol menjadikan segala usaha untuk menyelesaikan konflik ini belum berhasil.
Dalam usaha untuk menangkap anggota-anggota ETA yang disinyalir banyak melarikan diri keluar Spanyol, pemerintah Spanyol bekerjasama dengan pemerintah negara-negara Eropa lainnya, khususnya Perancis untuk menangkap anggota- anggota ETA. Hal ini disebabkan daerah Basque pada saat ini terbagi dua di wilayah Utara Spanyol dan Barat Daya Perancis, meskipun hanya sedikit aksi ETA yang terjadi di Perancis, itupun hanya dalam skala kecil, namun karena banyak anggota ETA yang lari ke Perancis, maka Spanyol dan Perancis mengadakan kerjasama untuk menangkap anggota-anggota ETA yang berada di Perancis. Selain itu, dengan adanya Kelompok Gerakan ETA yang disinyalir sebagai kelompok tertua di Eropa yang hingga kini masih eksis, kedua belah pihak melakukan peningkatkan hubungan kerja sama khususnya dibidang keamanan dalam rangka memberantas pergerakan kelompok tersebut.
0 comments:
Post a Comment