Thursday, March 1, 2012


by :Ahmad Elqorni 

Sebuah pertanyaan besar kenapa baru sekarang diberlakukan setelah budaya teksbook kita begitu kuat dalam kurikulum pendidikan kita, mahasiswa terbiasa dengan hapalan-hapalan teks yang tak berimbang dengan apliaksi kasus. 

Sehingga mereka terbiasa dengan asupan-asupan imu dalam diktat dan buku paket yang baku yang tidak mengarah pada apresiasi dan kreatiftas kita hanya hapalan-hapalan biasa yang sulit dipahami. Mereka hebat berteori tapi lemah dalam aplikasi.  sehingga terkadang tidak tahu mengaplikasikan teori kedalam dunia nyata saat mereka bekerja mereka bingung, kalau teori yang mereka pelajari tidak sama dengan dunia baru mereka.

Saat skripsi mereka membolak-balikan  hasil skripsi sudah menjadi budaya sehari-hari di perpustakaan kampus. Mereka skripsi hanya melihat karya orang lain dan menduplikasikannya, kalau bisa dbuatkan skripsi yang bertebaran di sudut kampus Apalagi persepsi penelitian sekedar syarat kelulusan bukan untuk pembuktian kualitas mereka sebagai intelektual dan  pembelajaran mereka selama delapan semester kuliah di perguruan tinggi.

Begitu juga karya ilmiah dan hasil riset dosen di Indonesia tak begitu jauh, dengan berbagai dalih sangat kurang mendapat perhatian, kurangnya subsidi bagai penelitian, belum ada publikasi luas sebatas jurnal kampus atau hanya sekedar persyaratan sertifikasi dosen atau kepangkatan yang bisa copy paste dan hanya formalitas semata sehingga semangat meneliti-pun seolah sirna oleh kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Hasil penelitian palgiator terjadi dikalangan maha guru seperti terjadi pada tahun 90-an Ismet Fanany menuduh desertasi hasil karya Dr. Yahya Muhaimin dalam judul “Bisnis Dan Politik Di Indonesia” sebagai duplikasi dari karya ilmuwan Australia Dr. Richard robinson, “Capitalism An The Bureaucratic State In Indonesia” [1]
ketika ada kebijakan baru  untuk mewajibkan kelulusan setelah hasil karya ilmiah mereka S1, S2 secara nasional dan S3 harus terpublikasikan secara internasional seperti tanparan pedas, apalagi dibnadingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti malaysia sudah sepuluh tahun yang lalu. Sebuah gebrakan baru yang sebenarnya sudah diterapkan dinegara lain, walaupun dirasakan apriori mengenai beberapa hal yang harus dipikirkan oleh pemerintah dalam hal ini dikti dalam hal :
a)    Siapa yang menjadi media publikasi nasional, bagi PTN jelas dari pemerintah resmi dalam hal ini mendiknas, lalu PTS dengan bermacam grade kulaitas-nya.
b)     Berapa jumlah calon sarjana yang harus ngantri untuk dipublikasikan, kualitas karya ilmiahnya bagaimana yang gagal, kapan kelarnya?
c)    kualitas pembimbing riset  yang alakadarnya  dan bagaimana fee, termasuk resiko semakin menumpuk calon sarjana yang tertunda dengan kebijakan ini terutama kampus yang kualitasnya masih dibawah standar nasional.

Kita akui program publikasi hasil penelitian ini akan meningkatkan budaya penelitian yang kuat setelah mereka menjadi sarjana, karena merasa hasil penelitian mereka terbaca semua orang dan menjadi promosi personal. Tapi masalah diatas terutama media publikasinya benar-benar qualified dan memikirkan kualitas PTS yang masih belum standar baik dalam perangkat kuirkulum maupun infrastruktur. artinya semua secara bertahap dengan memperhatikan kualitas dosen untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan menyediakan penerbitan dengan memperhatikan royalty ilmiah mereka sehingga memberikan motivasi penelitian mereka semakin kuat, plus ada bantuan yang proporsional antara dosen negeri dan swasta untuk riset. dan publikasi ilmiah ini perlu kita dukung oleh semua stakeholder  pendidikan sebagai suatu pemberdayaan kualitas. bukan suatu yang tidak mungkin dan bahkan ini akan berlanjut pada upaya meningkatkan transparansi dan hak intelektual para intelektual kita untuk terus berpacu meneliti dan meningkatkan kualitasnya. wallahu alam bishowab.


[1]Plagiat-plagiat dim it tragedy akademis di indonesia, ismet fanany, KOMPAS, 22 November 1992.

0 comments:

Post a Comment