Tuesday, July 10, 2012

(KODE : FISIP-AN-0031) : SKRIPSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Gerakan reformasi yang terjadi pertengahan tahun 1998 telah membawa banyak perubahan pada kehidupan di Indonesia. Salah satu bidang yang mengalami perubahan cukup nyata adalah politik dan pemerintahan. Perubahan tersebut tampak dari amandemen UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusional pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Amandemen UUD 1945 kemudian diikuti dengan serangkaian perubahan-perubahan kebijakan yang dibuat pemerintah. Dengan berlandaskan semangat reformasi Pemerintah Pusat mulai melakukan serangkaian perbaikan. Pemerintah Pusat yang selama ini memonopoli perumusan dan penentuan suatu kebijakan baik itu lingkup nasional maupun lingkup lokal, mulai membagi peran tersebut pada Pemerintah Daerah. Kebijakan yang selama ini mayoritas bersifat top down perlahan mulai tergantikan dengan model perumusan kebijakan yang bersifat bottom up.
Kebijakan yang bersifat top down bisa diartikan secara umum bahwa kebijakan tersebut diturunkan dari pemerintah kepada masyarakat tanpa melibatkan secara langsung masyarakat yang menjadi sasaran. Dalam hal ini masyarakat hanya dijadikan objek suatu kebijakan. Pada akhirnya kebijakan yang dibuat seringkali tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan praktis yang dirasakan masyarakat, sehingga masyarakat tidak merasa sebagai bagian dari program bersangkutan.
Pelaksanaan kebijakan yang bersifat top down tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan. Konsep pemberdayaan masyarakat selama ini relatif tidak berjalan sama sekali karena yang berkembang adalah mekanisme kekuasaan dari pusat ke daerah. Hal ini berimbas pada ketidaktahuan masyarakat dan tumbuhnya sikap acuh tak acuh tentang pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Sejarah orde baru memberikan gambaran atas minimnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara. Mekanisme yang dijalankan pemerintah saat itu bersifat sentralis. Negara menjadi sosok omnipoten (maha kuasa) dan omnipresent (hadir dimana-mana) yang berpengaruh besar terhadap masyarakat, sehingga mampu menciptakan pengendalian melalui lembaga-lembaga politik formal. Pengendalian lembaga politik tersebut bahkan terjadi dari dari tingkat pusat sampai tingkat terbawah, dalam hal ini desa Di level desa lembaga-lembaga asli desa dikooptasi sedemikian rupa sehingga terjadi kemandegan partisipasi masyarakat. Apa yang dilakukan oleh lembaga tersebut hampir bisa dikatakan lebih membawa kepentingan negara daripada membawa aspirasi dan kepentingan dari masyarakat desa sendiri. Lembaga-lembaga yang seharusnya bisa menjadi saluran suara desa ke negara berubah menjadi saluran perintah dari negara terhadap warga desa. (Loekman Soetrisno, 2003:68)
Secara umum masyarakat relatif lemah baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal maupun untuk mengatur aktifitasnya sendiri. Partisipasi lebih banyak dimaknai sebagai sebuah proses mobilisasi masyarakat untuk suatu kepentingan pembangunan dengan mengatasnamakan "kesukarelaan berkorban demi nusa dan bangsa". Bahkan seringkali disebutkan partisipasi masyarakat dibatasi pada makna pelaksana rencana pembangunan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh Lukman Soetrisno menegaskan bahwa definisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Minimnya akses masyarakat untuk mengaktualisasikan partisipasinya dalam pembuatan kebijakan berdampak pada lemahnya kontrol masyarakat terhadap proses pembuatan kebijakan. Secara tidak langsung minimnya akses menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat dalam hal pembuatan kebijakan karena tidak memahami secara jelas latar belakang atau dasar pemikiran suatu kebijakan.
Untuk menanggulangi hal tersebut, manajemen pemberdayaan masyarakat menjadi satu hal penting yang harus dan dilakukan secara bersama oleh beberapa pihak dalam hal ini adalah kelompok strategis masyarakat, kelompok sasaran sendiri serta dengan pemerintah dalam hal ini adalah institusi perencanaan pembangunan. Kegiatan tersebut mulai dikembangkan seiring dengan mengemukanya wacana otonomi daerah yang diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang no 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa Pemerintah Daerah menanggapi keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini dengan cara beragam. Dalam tataran implementasi terhadap Undang-Undang tentang pemerintahan Daerah dan wacana otonomi daerah tersebut Kota X mencoba melaksanakan otonomi daerah yang diselaraskan dengan sistem perencanaan pembangunan partisipatif dengan mengeluarkan Keputusan Walikota No. 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif.
Manajemen pemberdayaan masyarakat atau komunitas menjadi sangat penting dalam proses pembangunan partisipatif ini. Proses pemberdayaan masyarakat ditekankan pada pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Terkait dengan hal itu maka digulirkanlah suatu model perencanaan pembangunan partisipatif yang kemudian dikenal dengan istilah Muskelbang (Musyawarah Kelurahan Membangun), Muscambang (Musyawarah Kecamatan Membangun), dan Muskotbang (Musyawarah Kota Membangun), yang kemudian seiring perjalanan waktu dan pergantian walikota diganti istilahnya menjadi Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di tingkat kelurahan, Musrenbangcam (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan) pada tingkat kecamatan, dan Musrenbangkot (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota) pada tingkat kota, yang diatur dalam Peraturan Walikota X Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota. Musrenbangkel maupun Musrenbangcam mengutamakan partisipasi dan peran serta warga daerah dalam proses perencanaan dan penetapan suatu rancangan pembangunan di daerah mereka. Dengan adanya musyawarah-musyawarah yang melibatkan partisipasi aktif warga daerah tersebut diharapkan selain pembangunan yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan aspirasi warga dan aparat daerah, selain itu masyarakat juga mendapat pendidikan politik di tingkat dasar dan lebih diberdayakan dalam artian ikut berpartisipasi aktif tidak hanya sebagai pelaksana saja.
Musyawarah penentuan arah pembangunan tersebut bisa dikatakan sangat penting bagi warga daerah terkait. Tetapi fakta di lapangan partisipasi warga daerah sangat kecil. Faktor kurangnya sosialisasi dan keacuhan dari warga adalah dua hal utama yang menyebabkan hal tersebut. Partisipasi yang kecil tersebut semakin diperparah dengan tidak seimbangnya proporsi antara warga laki-laki dan perempuan dalam mengikuti Musrenbangkel tersebut.
Selain melihat dari sisi daftar hadir peserta Musrenbangkel, kesan kesenjangan gender cukup tampak dari keterwakilan perempuan dalam susunan panitia dalam penyelenggaraan Musrenbangkel di beberapa kelurahan dalam wilayah Kecamatan Y. Laki-laki terkesan mendominasi separuh lebih jabatan atau posisi yang stategis, sedangkan perempuan seakan-akan hanya menjadi pelengkap saja.
Partisipasi dan keterwakilan perempuan yang sangat minim tersebut sangat memprihatinkan. Padahal dilihat tingkat kepentingannya, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel ini sangat diharapkan Partisipasi aktif kelompok perempuan mayoritas hanya diambil oleh PKK dan belum muncul kelompok lain. Kebanyakan keterlibatan perempuan di forum-forum publik seperti Musrenbangkel ini hampir semua mendapat posisi yang kurang strategis. Kalaupun menempati suatu bidang perempuan biasanya hanya mengelompok di satu bidang saja yaitu sosial budaya.
Kurang aktifnya perempuan dan partisipasi yang minim dalam Musrenbangkel di wilayah X sungguh suatu hal yang memperihatinkan. Padahal banyak hal yang bisa didapat dari keikutsertaan mereka dalam musyawarah tersebut. Apalagi bisa dikatakan perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga adalah sosok yang paling dekat dengan keadaan dan kondisi lingkungan yang akan menjadi sasaran dari pembangunan tersebut. Bisa dikatakan karena interaksi mereka yang lebih lama dengan daerah lingkungan sekitarnya, perempuan sangat mengerti kebutuhan dari lingkungan mereka. Ditambah lagi dilihat dari sisi gender, kehadiran dan peran aktif perempuan sangat diperlukan untuk menyampaikan aspirasi mereka sebagai perempuan yang terkadang dikesampingkan. Diharapkan pembangunan yang bersifat diskriminatif dan manfaatnya kurang dirasakan oleh perempuan menjadi hilang.
Partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel ini bisa dijadikan salah satu cerminan fenomena yang masih melekat di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Saat didengung-dengungkannya partisipasi perempuan atau yang lebih mengemuka saat ini yaitu istilah persamaan gender, ternyata hal tersebut masih jauh dari keadaan yang diinginkan. Perempuan Indonesia masih saja mengalami kesenjangan dalam kaitannya dengan keberadaan mereka ketika akan memasuki area-area publik. Bila dilihat dari sisi peran, akses, manfaat, maupun kontrol, perempuan tidak mendapat porsi yang sama dengan laki-laki.
Bila melihat fenomena ini secara umum kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia tersebut bisa dikatakan diakibatkan oleh beberapa faktor yang ada dan sudah mengakar di dalam masyarakat. Faktor tersebut antara lain budaya patriarki yang masih kental di masyarakat Indonesia, budaya ini sangat mengagungkan laki-laki di atas perempuan. Selain itu pemerintah juga sedikit banyak punya andil, kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini juga seringkali masih terkesan netral bahkan masih banyak yang buta gender, hal tersebut ikut serta menjadi faktor penyebab kesenjangan gender. Pola pendidikan dan pengajaran baik itu di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat juga masih kental sekali dengan nuansa menomorduakan perempuan ataupun melabelkan perempuan dengan stereotipe negatif saja.
Persoalan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan gender ini dalam perkembangannya banyak menjadi persoalan sosial yang serius. Karena dalam penerapannya telah melahirkan praktek-praktek ketidakadilan (gender inqualities) yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti proses pemiskinan ekonomi, sub ordinasi, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip dengan label negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, dan lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Bentuk-bentuk manifestasi ketidak adilan itu sebenarnya saling mengkait dan tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. (Mansour Fakih, 2004: 12-13)
Keterkaitan antara ketidakadilan gender dan partisipasi perempuan bisa dikatakan sangat erat. Persoalan pembedaan peran perempuan dalam lingkup ruang publik dan ruang domestik bisa dikatakan adalah faktor utama dalam hal ini kaitannya dengan minimnya partisipasi mereka dalam Musrenbangkel. Faktor bias gender yang disebabkan budaya patriarki yang sudah mengakar di lingkungan masyarakat kita bisa dijadikan analisis awal untuk menjawab mengapa partisipasi perempuan sangat minim khususnya dalam proses Musrenbangkel dan umumnya dengan berbagai aktifitas dalam lingkup ruang publik yang berkaitan dengan masyarakat luas.
Fenomena minimnya partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel, dan dampak langsung dari fenomena tersebut dengan pembangunan yang akan di lakukan di daerah terkait adalah bahan yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Dengan mengambil sampel Kelurahan X secara sempit, diharapkan muncul penyebab-penyebab yang bersifat dasar mengenai minimnya partisipasi perempuan dalam proses Musrenbangkel tersebut. Kelurahan X menjadi bahan yang menarik dijadikan sampel karena pemimpin tertinggi dalam wilayah ini dalam hal ini adalah Lurah Kelurahan X adalah perempuan. Dengan dipimpin oleh perempuan apakah aspirasi perempuan bisa mengemuka dan menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan pembangunan Kelurahan X. Oleh karena hal tersebut penulis mengangkat fenomena ini sebagai bahan penelitian, karena langsung ataupun tidak langsung dampak dari fenomena ini akan dirasakan oleh perempuan itu sendiri secara khusus dan semua warga Kelurahan X umumnya.

B. Perumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas, maka secara umum dapat ditarik perumusan masalah yang akan diteliti yaitu:
1. Bagaimana peran dan partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X ?
2. Apa yang menjadi faktor penghambat partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Menganalisis peran dan partisipasi aktif perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X.
2. Menganalisis faktor penghambat partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Menjadi bahan masukan agar pelaksanaan Musrenbangkel di masa yang akan datang berjalan jauh lebih baik dengan peningkatan partisipasi aktif masyarakat luas baik laki-laki maupun perempuan.
2. Menjadi salah satu alat sosialisasi untuk lebih mengenalkan proses Musrenbangkel ini pada masyarakat luas. Sehingga proses Musrenbangkel ini di masa depan bisa menjadi salah satu alat penyalur aspirasi masyarakat yang efektif dalam upaya pembangunan di daerahnya dan sebagai salah satu satu proses pembelajaran politik bagi masyarakat di tingkat bawah.
3. Mengoptimalkan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yaitu melalui Program Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) yang responsif gender

0 comments:

Post a Comment