(KODE : FISIP-AN-0032) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF TENTANG OPTIMALISASI KINERJA BAPPEDA DALAM PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DI KOTA X
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan azas desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Prinsip otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Adapun perubahan paradigma tersebut disikapi oleh daerah dengan menyesuaikan dan merubah berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam melaksanakan pembangunan yang demokratis guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Menurut J. Linz and Alfred Stephan dalam Journal of Democracy :
"...reinforcing and empowering civil society has become a common strategy for democratisation in many countries. In the context of political transition in asia, it also believed that empowering civil society is an important consolidating democracy.‘ governance' is a key concept in discussion about the state and civil society, the term 'governance' which essensially refers to political function and 'public administration' generally viewed in therms of more technocratic pursuits". (...penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil telah menjadi suatu strategi bersama dalam proses demokratisasi di banyak negara. Dalam konteks perkembangan perubahan politik di Asia, juga menjadi keniscayaan bahwa pemberdayaan masyarakat sipil adalah suatu landasan demokrasi yang solid. 'pemerintahan' adalah suatu konsep utama dalam diskusi tentang negara dan masyarakat sipil, istilah 'pemerintahan' yang secara esensi mengacu pada fungsi politis dan fungsi 'administrasi publik' pada umumnya dipandang dalam segi tujuan yang lebih teknis.)Berbagai perubahan tersebut terwujud dalam pergeseran paradigma pembangunan di daerah, yakni perubahan dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma yang desentralistik. Paradigma sentralistik dianggap terlalu mementingkan kedudukan pemerintah sebagai pusat perencana dan pelaksana pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Paradigma pembangunan yang lebih mementingkan kekuasaan pemerintah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan. Pergeseran paradigma pembangunan tersebut, secara teoritis merupakan perwujudan dari perubahan pola perencanaan pembangunan dengan pola top down menjadi pola bottom up. Seperti yang diungkapkan oleh Hirtsune Kimura dalam Jurnal Ketahanan Nasional :
"More ever, changing the mindset of public officials who had been accustomed administration is not easy. After three decades of, new order rule, there still exist a strong tradition of centralize bearucracy, those the big trial of Indonesia decentralization on is still at the starting point." (Lebih lanjut, mengubah pola pikir para pejabat publik yang sudah terbiasa birokratis tidaklah mudah. Meskipun setelah tiga dekade, dengan pemerintahan yang baru, akan masih ada suatu tradisi yang kuat dalam birokrasi yang terpusat, namun hal itu merupakan sebuah langkah besar dari proses desentralisasi di Indonesia yang masih berada di titik awal).Dalam era otonomi daerah yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan hakekat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sebagaimana termaktub dalam mukadimah UNDP (United Nation Development Program), salah satu ciri sistem pemerintahan yang baik (good governance) adalah pemerintahan yang bisa mengikutsertakan semua masyarakat, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, adanya supremasi hukum serta bisa menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat. Di satu sisi, peningkatan kapasitas birokrat/aparat pemerintah diarahkan untuk merubah pola pikir, bahwa peranan birokrat/aparat pemerintah mengalami perubahan dari pelaku pembangunan menjadi fasilitator pembangunan. Dengan demikian peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi dan mengkatalisasi melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam otonomi daerah.
Hal ini berarti perlu adanya komitmen terhadap penguatan keberadaan lembaga pemberdayaan masyarakat khususnya di tingkat bawah atau di tingkat kelurahan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana salah satu fungsi Pemerintah di tingkat Desa/Kelurahan serta Kecamatan adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini sangat penting dalam rangka merumuskan solusi dalam mengidentifikasi berbagai fungsi dari lintas pelaku pemberdayaan masyarakat, agar sadar akan arti pentingnya suatu harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, yang ditandai dengan berjalannya peran serta tugas pokok masing-masing. Keberhasilan Pemerintah Daerah dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat.
Munculnya perencanaan pembangunan partisipatif diharapkan akan menghantarkan masyarakat untuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi, menganalisa akar-akar masalah tersebut, mendesain kegiatan-kegiatan terpilih, serta memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menampung dan mengakomodasi berbagai kebutuhan yang beragam. Dengan kata lain, upaya peningkatan partisipasi masyarakat pada proses pembangunan dapat membawa keuntungan substantif, dimana pelaksanaan pembangunan akan lebih efektif dan efisien, disamping akan memberikan rasa kepuasan dan dukungan masyarakat yang kuat terhadap program-program Pemerintah Daerah itu sendiri.
Adanya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah juga semakin menegaskan arti pentingnya kualitas pelayanan publik. Undang-Undang ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab pada daerah. Dengan kewenangan yang diberikan tersebut, maka pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk menentukan kebijakan yang akan diambil, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah. Akan tetapi di satu sisi, pemberian keleluasaan kewenangan kepada daerah juga harus diimbangi dengan koordinasi dan perangkat aturan yang sinergis sehingga lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah.
Keberhasilan pembangunan di suatu daerah tidak akan terlepas dari peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bappeda adalah sebuah badan yang bertugas melakukan perencanaan pembangunan di daerah. Bappeda merupakan badan atau staf yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota atau Bupati. Peran Bappeda pada pemerintahan yang telah lalu memang tidak terlalu signifikan di dalam pembangunan. Namun hal ini lebih dikarenakan sistem pemerintahan yang terlampau sentralistik, sehingga ruang gerak Bappeda menjadi terbatas karena begitu dominannya intervensi pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah. Akibatnya, perencanaan pembangunan yang disusun untuk suatu daerah, ketika diimplementasikan hasilnya sering tidak tepat sasaran karena tidak mampu merespon kebutuhan riil dari masyarakat. Hal ini membawa dampak dimana pembangunan yang telah ada tidak mampu mengangkat kesejahteraan rakyat.
Di tengah perkembangan perencanaan pembangunan partisipatif di Kota X yang sudah berjalan selama kurang lebih 8 tahun tentu sudah banyak dinamika yang berkembang. Perencanaan pembangunan di Kota X memang harus mengacu pada sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Mekanisme Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota X dibangun melalui kegiatan tahunan dengan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam), Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota (Musrenbangkot). Berdasarkan Peraturan Walikota X Nomor 51 Tahun 2008, Bappeda Kota X dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif memiliki peran dalam melaksanakan fungsi pendampingan dalam Musrenbangkel dan Musrenbangcam serta memfasilitasi penyelenggaraan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Musrenbangkot. Dalam kinerjanya tersebut, Bappeda Kota X hanya bertindak sebagai fasilitator dan melakukan monitoring pelaksanaan Musrenbangkel dan Musrenbangcam agar alur dan mekanismenya sesuai dengan pedoman.
Berikut ini peneliti sajikan sebuah contoh model hasil Musrenbangkel Kelurahan Y yang berisi tentang daftar skala prioritas permasalahan, potensi pemecahan masalah dan usulan kegiatan pembangunan di Kelurahan Y dalam sebuah tabel. Juga peneliti sajikan contoh instrumen yang menunjukkan adanya proses monitoring dari Bappeda terhadap pelaksanaan Musrenbangkel Kelurahan Y dan Musrenbangcam Kecamatan X tahun 2009.
Partisipasi masyarakat merupakan elemen yang penting untuk diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Dari empat tahap pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi) pelibatan masyarakat dalam perencanaan memiliki bobot yang tinggi untuk memperbaiki kualitas pembangunan. Hal ini mengingat partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih sering dimaknai sebagai dukungan masyarakat dalam pelaksanaan proyek pembangunan, bukan dalam perumusan rencana. Lebih lanjut, perencanaan memiliki posisi yang strategis sebagai arahan dalam mengimplementasikan pembangunan. Perencanaan dalam pembangunan merupakan suatu mekanisme untuk merumuskan desain pembangunan yang akan dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakat.
Kehendak melibatkan masyarakat dalam perumusan perencanaan pembangunan sebenarnya sejak dari dulu telah termanifestasi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 1982 tentang pedoman penyusunan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah (P5D). Permendagri tersebut menggariskan pola perencanaan pembangunan yang memadukan pendekatan top down dan bottom up. Penyusunan perencanaan pembangunan dirancang mulai dari musyawarah pembangunan tingkat kelurahan, temu karya pembangunan tingkat kecamatan, rapat koordinasi pembangunan tingkat kabupaten atau kotamadya, rapat koordinasi pembangunan tingkat propinsi, dan rapat konsultasi nasional.
Namun mekanisme tersebut dalam implementasinya dinilai kurang aspiratif. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan dirasakan sebagai hal yang semu belaka karena lebih banyak diwarnai dialog antar aparat yang diputuskan secara top down. Selanjutnya rencana pembangunan nasional tersebut disesuaikan dengan angka-angka sasaran daerah. Akan tetapi sering ditemukan bahwa angka-angka sasaran nasional tersebut dikutip begitu saja sebagai sasaran daerah tanpa menyadari kemampuan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Perencanaan daerah sering pula hanya merepresentasikan rencana sektoral dari instansi vertikal. Sehingga perencanaan pembangunan yang secara ideal diharapkan untuk dapat mewujudkan ciri khas daerah (keberanekaan kebutuhan dan potensi) tidak terwujud.
Perencanaan pembangunan ini tidak peka terhadap variasi daerah (mengesampingkan kenyataan akan heterogenitas kondisi dan tuntutan aspirasi daerah) sehingga solusi yang ditawarkan tidak mampu menjawab permasalahan daerah. Pada sisi lain mekanisme ini melemahkan kemampuan kreatif rakyat yang berkaitan dengan keberlangsungan pembangunan. Kondisi yang demikian bisa memunculkan sikap apatis (ketidakperdulian masyarakat pada pembangunan karena merasa bahwa proses pembangunan tidak menyentuh kebutuhan riil mereka) dan inersia (masyarakat menjadi kurang dapat mengembangkan potensi yang terpendam sehingga cenderung pasif menunggu perintah, dan tergantung pada bantuan) dalam masyarakat.
Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana Pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut, karena semua proses keputusan yang diambil secara holistik harus melibatkan masyarakat. Mengingat partisipasi adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance, banyak organisasi atau lembaga publik memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance. Strategi yang diambil organisasi civil society umumnya dilandasi analisis situsasi yang mengemukakan adanya tiga hambatan utama menuju partisipasi yang baik (Hetifah. 2000), yaitu; Pertama, adalah hambatan struktural yang membuat iklim atau lingkungan menjadi kurang kondusif untuk terjadinya partisipasi. Di antaranya adalah kurangnya kesadaran berbagai pihak akan pentingnya partisipasi serta kebijakan maupun aturan yang kurang mendukung partisipasi termasuk kebijakan desentralisasi fiskal. Kedua, adalah hambatan internal masyarakat sendiri, diantaranya kurang inisiatif, tidak terorganisir dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk terlibat secara produktif dalam proses pengambilan keputusan, dimana hal ini terjadi antara lain akibat kurangnya informasi. Dan yang ketiga, adalah hambatan akibat kurang terkuasainya metode dan teknik-teknik partisipasi.
Sedangkan salah satu persoalan lain yang dihadapi dalam perencanaan pembangunan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan. Jarak antara penyampaian aspirasi hingga jadi keputusan relatif jauh. UU Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000) tentang Otonomi Daerah telah menggeser pemahaman dan pengertian banyak pihak tentang usaha pemanfaatan sumber daya alam, terutama aset yang selama ini diangap untuk kepentingan Pemerintahan Pusat dengan segala perizinan dan aturan yang menimbulkan perubahan kewenangan. Perubahan sebagai tanggapan dari ketidakadilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam, tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi regional atau nasional. Persoalan lainnya yakni meskipun di dalam Undang-Undang tersebut desa juga dinyatakan sebagai daerah otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian besar kebijakan publik, paling rendah masih diputuskan di tingkat kabupaten. Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di tingkat lokal. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan potensi terjadinya deviasi, baik yang pada gilirannya menyebabkan banyak kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai sejauh mana optimalisasi kinerja Bappeda Kota X dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif di era otonomi daerah di Kota X.
B. PERUMUSAN MASALAH
Dengan mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan oleh peneliti diatas, maka perumusan permasalahan yang akan diteliti adalah : "Bagaimanakah optimalisasi kinerja Bappeda Kota X dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif?"
C. TUJUAN PENELITIAN
a. Mendapatkan gambaran tentang kinerja Bappeda Kota X dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota X.
b. Mengetahui bagaimana Bappeda Kota X dalam mengoptimalkan kinerjanya tersebut.
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Hasil penelitian ini dapat menambah masukan bagi khasanah Ilmu Pengetahuan Sosial pada umumnya dan Ilmu Administrasi Negara pada khususnya.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Bappeda Kota X dalam usaha optimalisasi kinerja dan kompetensinya di era otonomi daerah.
c. Manfaat pribadi bagi penulis yakni untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana bidang Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas X.
d. Dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian.
0 comments:
Post a Comment